Selasa, 08 November 2011

PENDIDIKAN

MENATA PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA DI SEKOLAH
Oleh Toto Dartoyo, S.Pd. Guru SMPN 2 Ciampel

Dari kegiatan Pelatihan Jurnalistik untuk guru di hotel Sangga Buana pada 19-21 September  kemarin terungkap bahwa Jepang telah mengubah orientasi kurikulum mereka dari orientasi science ke orientasi humaniora. Ungkapan Dr. Unang dari Disdik Propinsi Jabar ini cukup menarik perhatian manakala beliau menunjukkan contoh bahwa anak-anak Jepang sekarang banyak yang melakukan aksi bunuh diri hanya gara-gara mendapat nilai  jelek.    
Contoh miris dari negeri sakura di atas benar-benar menohok perhatian kita dan mengindikasikan bahwa dunia pendidikan   yang berorientasi pada science semata hanya menggiring anak didik pada perilaku yang meresahkan batin dan penderitaan diri.  Pendidikan seperti itu telah mengabaikan nilai-nilai dasar dari karakter manusia.  Dengan kata lain telah gagal memuliakan dan mengangkat derajat anak didik ke arah kebahagiaan yang hakiki sebagai insan yang sempurna.
Jika seperti itu kenyataannya, pemerintah menjadi pihak pertama yang bertanggung  jawab atas dekadensi kultur dan fitrah manusia. Sementara di lapangan, guru dapatlah dikatakan sebagai pihak kedua. Manakala  kebijakan pemerintah telah jauh melenceng, guru sebenarnya masih bisa meluruskannya.  Tapi bersyukur bahwa kebijakan kurikulum Indonesia mengusung nilai-nilai mulia dari jati diri bangsa.                
Hanya saja persoalannya menjadi lain saat kita menyaksikan tingkah dan aksi anak-anak penerus cita-cita bangsa yang mulai jauh menyimpang dari tatakrama dan moral yang selama ini menjadi keebanggaan kita. Tentu kita pun bertanya-tanya dan menduga bahwa ada yang tidak beres dengan pendidikan kita selama ini. Lalu bertanya siapa yang mesti bertanggung jawab atas semua itu.          
Bolehlah kita menyalahkan para petinggi dan pemimpin bangsa ini yang telah mencontohkan sifat-sifat tercela kepada anak-anak kita, tapi apakah diri kita sebagai pendidik juga tidak ikut menyumbang atas runtuhnya nilai-nilai etika dan estetika anak-anak didik kita itu? Cobalah kita tengok sejenak kejujuran kita dengan beberapa pertanyaan di bawah ini untuk menjadikan kita berpikir telah sejauh mana usaha membangun pendidikan karakter bangsa ini.                        
Bagaimana anak akan bisa menghargai orang lain manakala kita saat menyuruh mereka, kita sama sekali tak pernah mengucapkan terima kasih sesudahnya? Bagaimana kita akan mendidik anak sehat, hidup hemat, menghargai orang lain, manakala kita sendiri menyuruh mereka membeli rokok dan merokok di depan mereka serta tidak mematikan rokok saat di tempat umum?                   
Bagaimana siswa kita tidak akan berpikiran porno dan melakukan hal-hal tercela manakala kita sendiri suka menyimpan dan menonton video porno? Bagaimana anak akan menjadi pintar manakala dalam pikiran kita hanya memikirkan bagaimana caranya kita mendapat keuntungan ekonomi dari anak-anak didik kita?      
Bagaimana anak akan disiplin manakala kita ke sekolah selalu datang sesudah anak-anak datang terlebih dulu? Bagaimana akan melatih karakter jujur dan menepati janji manakala kita menyia-nyiakan amanat dari Tuhan YME dengan sering bolos mengajar dan meninggalkan kelas?     Bagaimana akan hidup tertib jika kita sendiri masih berkarakter amburadul, bahkan kita tidak tahu mana yang amburadul dan mana yang tidak? Bagaimana akan membuat anak-anak bahagia manakala kita tidak mengerti makna bahagia?                      
Rentetan pertanyaan itu bisa saja menjadi sangat panjang tatkala kita merenungkannya lebih dalam akan nilai-nilai hakiki kejujuran dan keadilan. Dan pendidikan berkarakter yang sekarang didengung-dengungkan oleh pemerintah jelas-jelas akan menjadi tanda tanya besar manakala pemerintah dan para pemimpin negeri ini sendiri tidak pernah mencontohkan perilaku yang terpuji.                                                 
Tetapi yang pasti, inti permasalahannya bukan pada siapa-siapa. Masalahnya adalah berangkat dari diri kita . Persoalan bagaimana mengajarkannya itu hanyalah masalah teknis di lapangan yang bisa dipelajari dan dijabarkan bersamaan dengan materi pelajaran. Artinya, jangan pernah sekali-kali  mengajak atau berharap suatu keadaan menjadi baik, manakala kita melupakan diri kita sendiri. Sebagaimana yang tertera dalam Al Quran Surat 61: ayat 3: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.       
Kita berharap bahwa kurikulum yang telah mengombinasikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor milik bangsa ini  tidak gagal dalam aplikasinya. Keberhasilannya sangat bergantung pada diri kita sebagai pemimpin di lapangan. Dan kepemimpinan kita kelak tentu akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah pengadilan Tuhan.